Saat
itu aku bahagia, sangat bahagia
bersekolah di sekolah impian ku. Saat itu aku bahagia membayangkan di sekolah
ini aku akan belajar menuju cita-cita ku.
Dan kebahagian ku lengkap ketika aku mulai merasa alloh menjawab doa ku
dan memberikan sahabat yang sudah sangat ku rindukan kehadirannya. Aku duduk bersama kiky dikelas sepuluh ini.
Kami mulai berkomunikasi dengan baik dan saling mengerti satu sama lain.
Aku
sangat senang dengan sahabat baru ku itu, walaupun aku belum yakin kiky menganggapku
juga sahabat dia atau tidak. Kiky teman yang menyenangkan dan ada saja
tingkahnya yang lucu. Dia sangat dikenal dengan “Ms. Mirror.” Karena ia selalu
membawa cermin dan bercermin dengan gayanya yang lucu. Dan itu membuat aku
selalu terhibur olehnya.
Di Sisilain
yang aku suka darinya adalah dia lebih memilih ke masjid dengan ku disbanding
ke kantin. dan aku selalu pergi ke masjid bersama untuk sholat. Sekalipun waktu
ashar sangat sempit dengan waktu istirahat kami. Ataupun saat hujan mengguyur
waktu masuk sholat ashar tiba, aku fikir aku akan pergi sendirian ke masjid.
Ternyata tidak, kiki pun sama pergi dengan ku. Kiky dan aku selalu membawa
mukena setiap hari walaupun seberapa berat dan penuhnya tas kami. Itu yang
membuat aku berfikir bahwa kita itu sehati. Walau ada sifat-sifatnya yang sama
sekali tidak aku suka dan sering membuat aku sedih. Tapi itu aku jadikan sebagai bahan belajar
untuk saling mengerti. Karena mencari sahabat dalam kesempurnaan bagi ku itu
hanya sekedar mencari keuntungan untuk pribadi.
Suatu
saat, aku duduk disampingnya dibawah pohon rindang sambil menunggu waktu jum’at
an selesai. Aku mulai memberanikan diri menceritakan kepada kiky bahwa aku
sangat senang berteman dengannya.
“kiky,
makasih ya. Udah mau temenan sama aku. Maafin aku kalau aku suka ngerepotin
kamu.” Setidaknya itulah kalimat pembuka yang dapat aku mulai.
“
iya fitri, sama-sama. Engga kok. Apaan sih fit” ungkapnya dengan tertawa.
“aku
mau bilang kalau aku seneng banget temenan sama kamu. Kamu udah beneran kaya
sahabat aku. Kiky aku hanya mau cerita, aku udah lama pengen punya temen yang
bisa sama-sama kaya gini. Aku berharap banget kamu bisa terus seperti ini”
ungkap aku.
“iya
fit tenang aja, aku juga seneng ko punya sahabat kaya kamu. Udahlah jangan
sedih-sedihan gini. Oke oke” ungkapnya dengan berkedip-kedip mata.
Akupun
tersenyum lebar melihatnya, ditambah dengan ungkapannya yang menyatakan bahwa
aku ini adalah sahabat dia. Oh.. bahagianya hati ini.
Namun
enam bulan aku elanjutnya, aku semakin merasa tertekan dan semakin tidak tahan
dengan enam bulan yag aku rasakan dengan perlakuan kiky terhadap aku. Setiap
latihan soal, pelajaran berhitung-hitung kiky selalu sibuk dan asyik sendiri,
kemudian ulangan matematika, kimia dan
fisika. Kiky selalu sama sekali tidak memberi tahu sedikit saja kepada aku.
Memangg, sikap kiky itu diberikan bukan hanya kepada aku tapi kepada semua
temen kelas aku. Tapi aku sangat sedih kenapa kiky seperti itu sekali. Anehnya setiap pelajaran
sastra dan menghapal aku selalu membantunya, bahkan saat pelajaran bahasa
sundad aku tak segan-segan memberitahu semua jawabanya ketika kiky meminta ku
dengan rautan wajih sedih. Aku pun melakukanya, tujuan aku satu akau hanya mau
kiky mengerti bahwa setiap orang itu punya kelebihan dan kekurangan. Harus
saling membantu dan melengkapi. Aku pun berbicara padanya.
“kiky
aku mohon, kamu juga mau mengerti aku. Aku terbatas dalam pelajaran berhitung.
Aku mohon bantu aku.” Ungkap aku
“iya
fit, nanti kamu liat aja buku aku. Kalau aku udah dinilai tapi pas latihan
soal. Oke” jawabnya.
“bukan
itu yang aku mau, aku minta bimbingan mu. Ajarin aku.” Ungkapnya.
“adu
fit, kamu tuh yang engga ngerti aku, aku itu susuah kalau ngajarin orang. Gak Kamu minta ajarin guru aja, atau ikut les”
ungkapnya.
Selain
itu sikap kiky yang aku tidak suka adalah dia sangat tidak mengerti perasaan. Saat itu kipasnya
jatuh dibawah kaki aku dan dia, namun dia meminta aku menagmbilkannya padahal kipas
itu masi bisa dia ambil sendiri. Dia hanya sibuk bercermin ketika menyuruh aku.
Aku pun mengambilkannya. Namun ia sama sekali tidak bilang terimakasih, ia
malah menyuruhku lagi.
“ ini
kiky kipas mu.” Kata aku.
“
iya fit, taruh atas tas aku aja.” Ungkapnya.
Aku
sangat sedih. Ketika aku mulai ingat sesuatu. Aku harus ke ruang guru menemui
ibu Irma untuk membantunya mendata nilai. Aku mengajak kiky untuk membantu ibu
Irma. Tapi kiky tida mau. Ketika aku tanya memberanikan protes kepadanya. Kiky
malah marah kepada aku.
“kiky
kok kamu sekarang gitu, aku selama ini
selalu bersedia mengantar kamu kemana saja. Bahkan membelikan yang kamu mau
dikantin. Aku hanya meminta kamu untuk
membantu ibu Irma bersama aku.” Ungkap aku.
“loh
kok kamu jadi itungan gitu sih. jadi selama in kamu gak ihklas ya. Bukankah
kamu sendiri yang bilang sama aku, kalau kamu merasa senang seperti selalu
diantar ke masjid oleh aku. Emang itu belum cukup untuk menggantikan posisi ku
untuk mengantar mu ke ibu Irma?” jawabnya yang langsung pergi meninggalkan aku.
Aku
sangat sedih, kenapa kiky seperti itu kepada aku. Kenapa ia lebih sering
menyakiti aku. Hari itu aku sengaja
untuk pulang terlambat, aku tetap di sekolah menunggu maghrib datang. Sambil
menunggu, sore itu masjid sepi dan aku duduk dan bersandaraan pada pondasi
masjid itu. Aku menangis dan mengadu keada Alloh tentang kesedihan itu. Sontak, aku teringat kjadian ini yang sama
persis sering terulang tanpa aku sadari. Aku pun coba mengingat-ngingatnya
kembali.
Dan
akhirnya aku berhasil mengingat, kisah ini ternyata sudah aku alami sejak kelas
empat SD. Saat kelas empat hingga kelas enam aku juga merasa meliki sahabat
yang telah aku temukan tapi ketika aku berhasil menyatkan bahwa dia adalah
sahabat aku. Lambat laut mengecewakan ku. Dan menepis harapan ku akan sahabat
untuk aku. Hingga memasuki kelas satu SMP aku tetap berharap mempunyai sahabat.
Hal serupa aku rasakan sama ketika aku duduk dengan resti, dia baik dan tidak
pelit dalam memberiku bimbingan belajar. Ketika aku sudah menganngap dia adalah
sahabat aku, dia mengecwakan aku. Selama
satu tahun dia selalu memamerkan aku dengan rambut nya yang tebal dan
bagus. Hingga suatu saat rabut yang senagja ia kibaskan itu mengenai mataku dan
aku snagat perih kewalahan dalam menyembuhkannya. Yang sangat aku sedihkan
adalah ejekan nya saat aku mulai sering memakai minyak keletik yang biasa
dipakai nenek nenek dengan banyak sindiran untuk ku yang sering ia lakukan.
Akhirnya aku pindah duduk dengannya.
Saat
kelas delapan, aku sangat bahgia tidak bersama resti. Dan aku melanjutkan tetap
menanamkan harapan aku punya sahabat walau hanya satu saja. Aku kelas delapan
mengikuti eskul PMR yang menuntut kepada ku untuk terus berkiprah di bidang
kepalang merahaan hingga tua nanti. Aku sekelas dengan umi malihah yang duduk
di baris belakang aku. Keakraban kami muncul ketika ia meminta aku untuk
bercerita tentang bagaimana asiknya PMR. Dan aku berhasil membuat dia mau masuk
menjadi anggota PMR. Kami pun semakin dekat. Dan aku pun menganggap umi sebagai
sahabat aku. Ketika itu maulid nabi akan tiba, dan sekolah kami merayakannya. Aku berinisiatif
ingin menampilkan kosidahan, aku mulai mengajak teman-teman dan aku senang
jumlah tim yang dibutuhkan mencukupi.
Aku
dan umi pun mendaftarkan diri untuk memberikan sumbangsih dalam acara tersebut
yaitu kosidahan. Walaupun di sekolah kami sudah ada marawis tapi bagi kami,
kaum perempuan pun harus ada. Tapi ketika pejalanan latihan yang sangat dari
awal karena hamper semua personil adalah orang awaw dalam hal ini. Namun umi
kala itu, mempermainkan tim kami dengan mengancam akan mundur. Ketika kami
menegurnya karena ia selalu mengatakan bahwa liat aja gimana nanti aku bisa
ikut atau tidaknya. Tentu saja kami kesal, karena kami butuh kepastiaan.
Aku
pun mencoba menasehatinya namun ia semakin tambah marah, dan aku yang menjadi
sasarnanya.
“sekarang,
kalian terserah mau pilih aku atau dia.” Ungkapnya.
“umi, kenapa bilang gitu? Aku kan sudah berusaha
baik di tim ini. Apa salah aku?”
“aku
tahu, kamu yang berinisiatif ini, aku tau kamu yang mencari guru untuk
membimbing kita. dan aku tahu kamu yang mencari alat-alat rebana ini.”
Ungkapnya.
“lalu
apa maksud mu?” Tanya aku
“tapi
aku juga nyanyi disini, jadi tanpa aku. Kalian juga tidak akan berjalan.”
Jawabnya.
Aku
sangat sedih mendengar hal itu, aku nagis saat itu juga. Aku tidak menyangka ia
sangat seperti itu kepada aku. Namun berkat bujukan teman yang lain, akhirya
umi tetap mau bersama tim kami. Hingga acara puncak tiba. Dan kami berhasil
tampil dengan baik.
Tidak
terasa, azhan maghrib sudah berkumandang, dan aku terbangun dari lamunan. Aku
mencoba mengamati sekeliling ku yang mulai berdatangan satpam dan penjaga
sekolah yang khendak sholat di Masjid juga. Aku segera menghapus air mata. Dan
bergegas berwudhu. Dalam sholat maghrib itu aku berdoa dan tetap berharap serta
yakin alloh akan memberikan sabat untuk ku. Dan alloh pasti punya rencana lain
untu ku. Aku pun tetap menunggu, walau harus jatuh bangun mencarinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar