Marinem
Setia Profesi
Karena ada Cinta
Oleh: Fitri Andani
Roda berputar, dikayuh dengan pelan. menggenggam kendali arah tujuan. Senyum tak segan dipamerkan dalam keikhlasan. Menjelajah susunan jalan gang demi gang yang beragam. Memberikan jamuan kesehatan untuk banyak orang.
Kegiatan itulah yang tersusun dilakonkan oleh seorang ibu separuh baya yang sudah mempunyai dua orang cucu. Marinem itulah nama lengkap wanita gigih yang berjualan jamu tersebut. Ketika saya mengukir pembelajaran dan melakukan pendekatan, nenek itu luas terbuka menyambut erat niat baik saya untuk meliput kegiatan nenek itu.
Jam 04.45 WIB, saya telah berada di rumah nenek tersebut. Luar biasa terkejut, saat tiba di rumahnya, arsitektur rumahnya amat bagus dan lengkap dengan prabotan isi rumahnya amat banyak. Membuat kerutan kecil di kening saya, tapi sayapun tersenyum kecil mnenuruti rasa penasaran saya yang semakin dalam mengorek untuk dapat jawaban ini.
Dapur yang nyaman dan indah lengkap dengan peralatan teknologi modern masa ini, disitulah proses pembuatan jamu tradisional masi dilakukan. dengan kelihaian nenek itu, jamu yang kami buat setengah jam kemudian, dapat terselesaikan.
Walau prabotan modern memenuhi dapur, dalam proses pembuatan jamu dilakukan nenek itu dengan alat-alat sederhana. Karena menyangkut rasa. “selain itu, ibu juga buat jamu ini engga pake pemanis buatan atau bahan yang bikin bahya. Semuanya murni alami.” Ungkap nenek yang asli orang jawa ini. Jauh dengan yang dibayangkan, seketika itu saya memutar-mutar konsep liputan. Karena sebelumnya ingin mengangkat kesederhanaan hidup, tapi menjadi tekun yang tertuntun membawa kemakmuran.
Setia, Karena Cinta.
Marinem, belum juga bosan, sudah 35 tahun berjualan jamu, walau kehidupanya saat ini sangat baik, tapi ia tetap setia berjualan jamu. “Saya sangat belum bisa kalau harus meninggalkan pekerjaan ini, padahal anak-anak saya, sudah sangat meminta saya untuk tidak berjualan lagi karena usia saya yang udah tua ini. Saya udah lama jualan jamu, saya cinta dengan kegiatan ini.” Ungkap nenek dari dua anak ini.
Marsiem berguru dengan bibi-nya untuk awal berjualan jamu. Latar belakang ia berjualan jamu karena ia putus sekolah saat SMP dan sejak saat itu, ia merantau ke Bogor untuk berjualan jamu. Di usia nya yang masi belia ia harus memanggul wadah jamu dengan muatan isi yang sangat berat tapi tak menjadi beban, ia tetap tegak berjalan menyelusuri jalanan.
Awalnya selama dua puluh delapan tahun, ia berjualan jamu gendong, tapi tujuh tahun terakhir ini, ia berjualan jamu menggunakan sepeda. Dan sepeda tersebut hasil dari keringatnya. “saya pake sepeda soalnya itu lebih enak keliling jualanya, tidak terlalu cape. Saya juga berharap penjual jamu yang lain bahkan semuanya bias berjualan jamu dengan pake sepeda aja.” Ungkapnya
|
awal ia berjualan, ia bener merasakan sulitnya mencari uang, untuk mencari pelanggan ia sangat sulit, setiap ia teriakan dengan lembut kata “jamu”, “jamu”, dan jamu orang-orang sulit untuk membeli jamunya. “dulu itu, beneran sedih banget, waktu belum punya pelanggan. Kesini engga, kesana engga. Baru sekitar tiga bulan sedikit demi sedikit ada pelanggan.” Tutur nenek ini dengan lemas.
Memetik,Hasil Kebahagian.
Walau Ia putus sekolah tapi haram bagi ia untuk putus asa. Sejak dahulu ia bertekad bahwa segudang mimpinya bisa terwujud. “saya dului itu banyak kepengenan. Saya inget banget dulu saya yakin punya rumah sendiri, dan punya anak-anak yang berprestasi. Dan alhamdulillah bangetnya itu semua terjadi.” Ungkap Ungkap nenek yang sudah berkepala lima ini.
Ketekunanya berjualan jamu, menuntun ia mendapatkan kebahagiaan. Ia dipasangkan dengan suami yang mapan dan setia serta sholeh. lalu mempunyai dua orang anak yang sholeh-sholehah serta berprestasi luar biasa. Yaitu Arip dan Ririn. Setelah Ia punya suami, ia tetap tekun jualan jamu dan bersama suaminya, ia menabung untuk membeli rumah. Akhirnya ketekunan ia, terjawab sudah.
Arip anak pertamanya membuat ia selalu bersyukur akan anugerah Alloh Swt padanya. Sejak di Sekolah Dasar (SD), Ia berprestasi di kelas, sampai saat SMK belum usai ia sudah di rekrut dan di ikat kontrak kerjasama oleh perusahan jepang, yang membawa ia belajar dan bekerja di Negara matahari terbit tersebut. “saya sangat bersyukur, Arip diberikan kenikmatan itu oleh Alloh Swt. Waktu tiga bulan pertama, Arip kerja disana, ia mengirimkan uang pada saya. Tapi ia tidak bilang berapa jumlah uangnya, saya pikir baru sekedar honor. Tapi pas saya udah pegang uang itu, ternyata jumlahnya Rp 9.000.000, dan waktu dulu itu jumlah uang itu sangtalah besar nilainya. Saya sampe nangis waktu itu.” Ungkap ia sambil berlinang air mata.
Ririn adalah anak bungsu ia, saat ini ia sukses menggapai cita-citanya menjadi seorang perawat dan kini telah berumah tangga.
“saya masi inget gimana nyekolahin dua orang anak sekaligus, terutama ririn yang sekolah keperawatan dengan biaya yang besar. Tapi saya selalu berusaha membiayai diam karena saya mau dia dapat menggapai cita-citanya dan saya engga mau dia seperti saya. Bagi saya, cukup sudah biarkan aja saya yang ngerasaain putus sekolah dan banting tulang di usia muda. Tapi tidak untuk anak-anak saya.” Ungkapnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar